Jumat, 02 Juni 2017

MEMBANGUN BUDAYA SANTUN DALAM AGAMA BUDDHA


Sukarāni asādhūni                 attano ahitāni ca
yaṁ ve hitañca sādhuñca      taṁ ve paramadukkaraṁ

Sungguh mudah untuk melakukan hal-hal yang buruk dan tidak bermanfaat,
tetapi sungguh sulit untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat.

(Dhammpada; Atta-Vagga; 163)




Secara umum banyak orang telah melupakan nilai-nilai keluhuran yang telah diajarkan dalam ilmu prilaku yang dikenal dengan sebutan “Agama”. Nilai keluhuran tertuang dalam norma budaya dengan istilah budaya santun. Budaya santun merupakan ajaran yang telah diwariskan dari para pendahulu, yaitu leluhur. Budaya santun secara Buddhis juga telah diajarkan oleh Buddha dalam Dhamma yang dikenal adalah etika atau moralitas. Dalam kamus besar bahasa Indonesia arti dari santun adalah (1) halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan; (2) penuh rasa belas kasihan; suka menolong.
            Terkait dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa santun merupakan suatu ilmu yang mengajarkan seseorang untuk menjadi lebih halus dan lemah lembut. Pernyataan ini telah Buddha jelaskan dalam bait Maṅgala Sutta yaitu “terlatih baik dalam tata susila”. Manusia pada umumnya wajar melakukan tindakan kesalahan, akan tetapi menjadi tidak wajar apabila selalu melakukan keburukan tanpa adanya tindakan untuk menyadari perbuatan buruknya.
            Perbuatan buruk merupakan kebiasaan (budaya) yang sering dilakukan oleh setiap orang, akan tetapi setiap orang menggemari perbuatan buruk yang tidak bermanfaat. Perbuatan buruk yang tidak membawa manfaat dapat dilakukan dari tiga pintu indria, yaitu pikiran, ucapan, dan prilaku badan jasmani. Budaya santun akan terbentuk apabila seseorang dapat menjalankan isi dari Maṅgala Sutta yang berbunyi sebagai berikut:

Bahūsaccañca sippañca        Vinayo ca susikkhito
Subhāsitā ca yā vācā              Etammaṅgalamuttaman’ti.

(Berpengetahuan luas, berketerampilan,                  terlatih baik dalam tata susila,
dan bertutur kata dengan baik,                                 itulah berkah utama).


A. Santun berpikir

Keburukan yang dilakukan dari pikiran sering terjadi dengan berpikir buruk terhadap orang lain, berpikir keliru, memiliki pandangan salah. Hal-hal tersebut sudah menjadi budaya yang tidak baik dalam diri seseorang yang seharusnya mampu berpikir jernih. Santun dalam berpikir akan terbentuk apabila seseorang memiliki pengetahuan dalam berpikir yang ditembus dalam pengembangan meditasi, yaitu mengetahui dengan jelas pikiran baik dan buruk yang sedang muncul. Secara bijaksana seseorang memotong pikiran buruknya dengan kesadaran, perhatian dan kewaspadaan. Selanjutnya adalah memiliki keterampilan dalam berpikir, yaitu mampu terampil dalam menata pikiran, disamping seseorang terampil dalam segi kerajinan tangan. Keterampilan yang sesuai Dhamma merupakan bagian dari seni yang juga dipuji oleh sang Buddha. Orang yang tidak terampil dalam menata pikiran, maka ia akan dengan serampangan berpikir hal-hal yang buruk dan tidak bermanfaat dengan mudah. Justru sebaliknya, sungguh sulit seseorang menata pikirannya kearah yang baik, karena seseorang tidak terampil dalam segi menata pikirannya. (contoh kasus: selalu curiga, tidak percaya, berprasangka buruk).
      Terkait mengenai pikiran. Tertuang dalam Dhammapada Yamaka-vagga; 1, bahwa pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu. Pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara dan berprilaku dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya. Sebaliknya dalam Dhammapada yang sama, syair ke 2 dijelaskan, apabila sebaliknya seseorang memiliki pikiran, ucapan, dan prilaku yang murni, maka perbuatan baiknya akan mengikuti seperti bayang-bayang yang tidak pernah meninggalkan bendanya. Pikiran yang tidak tertata dengan pola yang baik, maka banyak permasalahan baru akan muncul. Pikiran yang buruk dalam segi kehidupan masyarakat dapat dijumpai, seperti seseorang memiliki rasa tidak suka dengan orang yang dianggap musuhnya. Sehingga pada saat di vihara mereka tidak bertegur sapa, bertengkar hingga berkelahi. Mereka melupakan bahwa kita adalah saudara dalam Dhamma.
Banyak kasus-kasus yang dapat kita temui dalam keseharian terkait pikiran buruk. Rasa keakuan dalam benak seseorang juga akan muncul pada saat orang tersebut memiliki kedudukan di suatu vihara tertentu. Sehingga dengan niat buruk orang tersebut merendahkan orang lain, dengan melihat latar belakang orang lain, kedudukan, dan pendapatan. Hal ini sangat ironis bagi umat Buddha yang belajar Dhamma tidak menjadi orang yang rendah hati, melainkan menjadi tinggi hati.

     B. Santun berucap

Ucapan yang tidak baik terkadang seseorang melakukannya dengan sengaja. Hal ini merupakan tindakan dari keburukan yang sering dilakukan. Terkadang orang mengucapkan istilah salam “Namo Buddhaya”, akan tetapi kelanjutan dari rentetan pembicaraannya berisikan ucapan yang buruk dan tidak bermanfaat. Umat Buddha yang terkadang sering ke vihara justru menjadi pelaku dalam ucapan yang tidak baik, seperti memarahi orang dengan kata-kata kasar, bergosip, menfitnah. Hal-hal ini adalah tidak sesuai dengan isi Maṅgala Sutta yaitu “bertutur kata dengan baik. Santun dalam berucap adalah seseorang dengan pengetahuannya dapat mengendalikan ucapannya untuk tidak melontarkan kata-kata yang buruk dan tidak bermanfaat. Sehingga perasaan orang lain terluka karenanya.
Selain itu mereka yang terampil juga dapat memilah ucapan-ucapan yang buruk dan baik, bermanfaat dan tidak bermanfaat. Buddha mengajarkan kepada umatnya bahwa hanya ada dua hal yang sewajarnya dilakukan yaitu “apabila seseorang berbicara, berbicaralah Dhamma, apabila tidak ada yang dibicarakan, maka selayaknya diam dan membina batin (Meditasi)”. Hal ini juga telah dijelaskan dalam sῑla keempat dalam lima aturan moralitas dalam agama Buddha untuk berlatih diri dengan tidak mengucapkan kata-kata yang tidak bermanfaat atau berbohong. Kata-kata yang tidak bermanfaat disini memiliki cakupan yang luas, seperti berbicara kasar, bergosip, menfitnah.

        C. Santun berprilaku

Prilaku yang dilakukan oleh badan jasmani yang dituntut untuk diwaspadai. Banyak orang yang melupakan budaya santun dalam berprilaku. Berprilaku dapat dikategorikan dalam beberapa bagian, yaitu berprilaku dalam tindakan, dan berprilaku dalam berbusana. Realita yang dapat dilihat apabila melakukan perbandingan umat Buddha di daerah, desa, pedalaman jauh lebih santun dalam berprilaku dalam tindakan, seperti contoh mereka ke vihara selalu memberi salam anjali pada sahabat-sahabatnya, memberikan perhatian dikala sakit, membantu pada saat ada kegiatan, tahu malu pada saat di vihara dengan mendengarkan ceramah Dhamma secara serius, tidak berbicara sendiri, tidak bermain handphone, tahu batas ukuran makan, sebagai intinya rasa toleransi masih terpelihara dengan baik.
Selain itu berbudaya santun dalam berpakaian, menggunakan busana (pakaian) secara santun, semua serba tertutup dalam berpakaian, punya rasa enggan ke vihara dengan busana yang serba kekurangan. Kalau dibandingkan dengan umat Buddha di kota, meskipun tidak semuanya. Akan tetapi ada diantara mereka ke vihara tidak beretika dalam berbusana, berbusana tidak lengkap (pakaian yang belum siap jadi sudah dipakai), hal ini juga kurang terampil dalam memilih pakaian. Pakaian yang seharusnya dipakai dipantai, disawah, dipakai ke vihara.  Selain itu juga perasaan malu dalam menyapa orang yang ditemui dengan bersikap anjali. Budaya anjali seolah-olah bukan tradisi buddhis, sehingga malu untuk melakukannya Kasus lainnya adalah pada saat ada kegiatan mereka enggan membantu, akan tetapi ingin selalu tampil di depan agar dikenal. Ada juga ke vihara hanya sembahyang lalu pulang tanpa pengetahuan yang didapat. Selanjutnya ada yang kelihatannya santun, tetapi pada saat mendengarkan ceramah orang tersebut berbicara sendiri dan main hand phone. Perkara makan juga menjadi masalah dalam tujuan orang ke vihara. Sehingga sangat jelas bahwa kita yang masih serba kekurangan selayaknya selalu membimbing diri secara benar setiap saat.
Buddha juga menjelaskan dalam Maṅgala Sutta, yaitu Attasammāpaṇidhi, Etammaṅgalamuttamaṁ (membimbing diri dengan benar, merupakan bagian dari berkah utama. Apabila seseorang semasa hidupnya tidak membimbing diri dengan benar, justru menjerumuskan diri ke dalam liang derita, maka dalam waktu yang panjang pula penderitaan yang dirasakan pada dirinya. Berbuat buruk dan hal yang tidak bermanfaat adalah suatu hal yang mudah, dan sulit bagi mereka yang mau berbuat baik dan hal yang bermanfaat.
            Hidup seseorang akan bermanfaat, bahagia, tentram, damai, apabila mampu menerapkan budaya santun dalam berpikir, berucap, dan berprilaku. Hal ini telah dijelaskan oleh sang Buddha dalam Aṅguttara Nikāya III; 50, yaitu: “Makhluk apapun yang berprilaku benar lewat tubuh, ucapan, dan pikiran. Sepanjang pagi, siang, dan malam, maka sepanjang itupula mereka akan bahagia dan kebahagiaan itu akan menjadi milik mereka”.


Refrensi:

Bodhi, Nyanaponika. 2003. Petikan Aṅguttara Nikāya. Vihāra Bodhivaṁsa,
Klaten: Wisma Dhammaguṇa.
Bodhi, Nyanaponika. 2003. Majjhima Nikāya. Vihāra Bodhivaṁsa,
Klaten: Wisma Dhammaguṇa.
Vijāno. 2013. Dhammapada. Tanpa kota: Bahussuta Society.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERCIKAN API KEHIDUPAN MEMBAKAR JIWA YANG SUKSES

Susukaṁ vata jῑvāma Verinesu averino Verinesu manussesu Viharāma averino sungguh bahagia kita hidup terbebas dari keserakahan, di...