Jumat, 02 Juni 2017

MEMUJA BUKAN MEMINTA


Para Bhikkhu, ada lima kekuatan di dalam diri
orang yang menjalankan latihan yang lebih tinggi.
Lima hal itu adalah keyakinan, malu, takut, moral, semangat, dan kebijaksanaan.

(Anguttara Nikaya 5: 2)


Pada umumnya orang-orang yang memiliki identitas dan mengaku sebagai umat Buddha, akan tetapi tidak menjadi umat Buddha yang sebenar-nya. Apabila kita melihat banyak umat Buddha tradisi yang datang ke vihara hanya membakar dupa (hio) dan meminta-minta kepada Buddha untuk diberikan karunia kesehatan, rezeki, jodoh, dll. Hal ini terkadang membuat umat Buddha meyakini cara yang ia lakukan sudahlah benar, justru sebenar-nya karena ketidaktahuannya menganggap dengan meminta itulah memuja. Sesungguhnya memuja bukanlah meminta. Tradisi meminta merupakan tradisi turun-temurun yang dianggap apabila tidak dilakukan maka berkah tidak didapat (tidak afdol tanpa meminta). Meminta merupakan hal yang dilakukan atas dasar ketidaktahuan. Hal ini dapat merusak keyakinan terhadap kebenaran Dhamma sesungguhnya.

Seringkali umat bertanya; “Bhante, boleh tidak sebagai umat Buddha meminta berkah kepada Buddha, seperti kesehatan, umur panjang, rezeki?” Saya menjawab dengan perumpamaan benih padi; “sekarang, berkah itu ibarat seperti benih padi yang anda tabur di ladang yang subur. Sepanjang siang dan malam terus berdoa dan meminta kepada Buddha untuk besok pagi panen, apakah bisa? Padi itu akan panen sesuai kondisi waktu dan iklimnya, tanpa harus meminta. Sama halnya berkah akan men-jadi milik anda, kalau anda menabur benih kebaikan dalam hidup ini. Meningkatkan keyakinan dengan sadar malu berbuat jahat, takut akan akibat-nya, melaksanakan moralitas dengan baik, memiliki semangat dalam berlatih, dan bijaksana dalam hidup.

Pengetahuan
Dalam Sangarava-Sutta Buddha menjelaskan ada tiga kelompok keyakinan yang mengajarkan ajarannya dengan cara sendiri, salah satunya adalah kaum tradisonalis (anussavika) mengajarkan sumber pengetahuan yang tertuang dalam Kalama Sutta yaitu
1)   Anussavena (tradisi lokal)
2)   Paramparaya (tradisi turun te-murun)
3)   Itikaraya (kabar burung)
4)   Pitakasampadaya (kitab suci)
5)   Bhavyarapataya (orang yang di-anggap baik)
6)   Samano no garu (perkataan dari guru yang dihormati).
Ada juga kaum yang kedua adalah kaum rasionalis (Takka Vimaṁsa) yang mengajar-kan ajarannya berdasarkan Takka-hetu (logika)
1)   Naya-hetu (kesimpulan)
2)   akara-parivitakkena (sesuatu yang sudah direnungkan)
3)   Diṭṭhinijjhanakkhantiya (sesuatu yang sudah disetujui)

Serta yang ketiga adalah kaum empiris  yang meletakkan pencapaian pengalaman diri, seperti menyiksa diri sebagai bagian dari pengetahuan. Buddha mengkritik kelompok tersebut dalam  Caṅki Sutta-Majjhima Nikaya, dan  Sandaka Sutta-Majjhima Nikaya,  bahwa pengetahuan tersebut tidak membawa pada penembusan pengetahuan Dhamma.

Menghormat bukan menyembah
Sesungguhnya dalam Dhamma dijelaskan menghormat kepada Tiratana merupakan hal yang mulia. Kemulian itu akan lenyap apabila umat Buddha menyamakan istilah menghormat dengan menyembah. Buddha bukanlah tempat menyembah dengan meminta-minta berkah. Buddha juga tidak mengajarkan siswanya untuk menjadi pengemis spiritual ataupun berkah. Pratima (Rupaṁ) Buddha memiliki nilai keagungan seseorang yang telah mencapai kesempurnaan, sepatutnya umat Buddha menghormat atas keluhuran pencapaian Buddha. Pandangan umum menilai umat Buddha adalah menyembah patung Buddha dan muncul istilah umat Buddha adalah “Penyembah Berhala”. Hal ini terjadi karena kesalahan seseorang yang tidak mau belajar Dhamma yang mulia. Buddha menjelaskan dalam  Anguttara Nikaya IV; 21, bahwa “Para Buddha terdahulu, saat ini, maupun yang akan datang menghormat Dhamma sejati.  Itulah hukum alam dari para Buddha. Karena itu orang yang menginginkan kebaikannya sendiri, harus dengan rendah hati menghormat Dhamma sejati, dengan mengingat ajaran Buddha.”
Selain itu menghormat (puja) dalam Dhamma dijelaskan ada tiga macam, yaitu mempelajari Dhamma dengan penyelidikan Dhamma (Dhamma-vicaya), selanjutnya Dhamma dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Setelah seseorang mempraktikkan Dhamma, sebagai hasil dari perbuatan (vipaka kamma) umat Buddha dapat menembus Dhamma dengan pengalaman diri yang bersumber dari pengetahuan dan berlandaskan pada kebijaksanaan Sehingga anggapan umat Buddha sebagai penyembah berhala dapat diluruskan dengan pencapaian yang diraih.

Berbhakti bukan pasrah
Umat Buddha selayaknya meletakkan bhaktinya pada Dhamma dengan tidak pasrah pada nasib dan takdir. Dalam Dhamma nasib dan takdir adalah kamma sebagai penentu dari diri sendiri. Karena Buddha bukan-lah pencipta yang dapat menghukum siswanya yang salah, ataupun juru selamat yang dapat menolong umatnya dari berbuat buruk. Buddha adalah Guru yang mendidik siswanya untuk belajar  bertanggung jawab atas perbuatannya dan mendidik agar mandiri,  tidak manja. Buddha telah meninggalkan ajaran Dhamma yang dapat menuntun kita keluar dari samsara dengan semangat melaksanakan moralitas, mengembangkan meditasi, malu berbuat jahat, takut akan akibat dari keburukan. Dengan demikian, maka pengetahuan Dhamma akan muncul, keyakinan akan meningkat, serta kebijaksanaan pun akan muncul. Sehingga umat Buddha tidak lagi menjadi peminta berkah, melainkan pelaksana Dhamma.
Inilah lima kekuatan siswa yang berlatih. Marilah kita berlatih dalam Dhamma sehingga pada akhirnya kita semua dapat merealisasi pencapaian Nibbāna dengan dasar pengetahuan kebijaksanaan. 

Sadhu! sadhu! sadhu!


Referensi:
-   Bodhi, Nyanaponika. 2003. Petikan Aṅguttara Nikaya. Vihara Bodhivaṁsa, Klaten: Wisma Dhammaguṇa.
-   Saddatissa. 1999. Sutta Nipata. Klaten: Vihara Bodhivaṁsa.
-   Vijàno. 2013. Dhammapada. Tanpa kota: Bahussuta Society.

1 komentar:

  1. salam kenal bhante,namo buddhaya.�� akhirnya ada blogspot jg. dtggu tulisan selanjutnya bhante.

    BalasHapus

PERCIKAN API KEHIDUPAN MEMBAKAR JIWA YANG SUKSES

Susukaṁ vata jῑvāma Verinesu averino Verinesu manussesu Viharāma averino sungguh bahagia kita hidup terbebas dari keserakahan, di...