Jumat, 02 Juni 2017

KIAT HIDUP SEHAT DENGAN POLA HIDUP BERMORAL


Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar,
Kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga,
Kepercayaan yang paling baik,
Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi.

(Dhammapada Sukha Vagga; 204).



             Kesehatan merupakan idaman setiap orang. Tidak ada di dunia ini orang yang  menginginkan sakit, akan tetapi kebanyakan orang mengabaikannya. Untuk kepuasaan sesaat seseorang mencari penghiburan di luar diri, seperti bermabukan, merokok, dan narkoba yang dapat memberikan kepuasaan, kebahagiaan tersendiri. Justru hal itu dapat membuat jasmani mereka rusak. Hal itu terjadi karena mereka hanya mengikuti kepuasaan yang tidak mendasar pada akal sehat. Selain itu, biasanya mereka adalah orang-orang yang tidak taat pada agamanya. Terkadang orang tidak menjalankan agama dengan baik,  hanya sebagai kedok untuk menutupi aib dalam dunia kejahatan yang dilakukannya. Sehingga membutuhkan pengetahuan religius secara bijaksana untuk mengantisipasi hal yang tidak baik itu.

            Kesehatan jasmani juga tidak berpaku pada satu permasalahan seperti pengaruh minum-minuman keras, dan narkoba. Selain itu kesehatan juga mempengaruhi pada pola makan dan gaya hidup seseorang. Seseorang yang hidup dalam keserakahan, tidak dapat menjaga mulutnya, dengan makan dan minum yang tidak terbatas, tidak disesuaikan oleh kapasitas tubuhnya sendiri, serta hidup berfoya-foya dengan menganggap ia mampu membeli apa saja, sehingga dunia adalah milik mereka, tanpa berpikir bahwa orang disekelilingnya yang memberi perhatian dan nasehat justru dianggap iri padanya. Ketidakpedulian seseorang akan kesehatan justru kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang menghidap penyakit mematikan, seperti kanker, dan jantung
            Pola hidup sehat dengan berolahraga juga hanya sebatas kesehatan jasmani saja, selain itu ditunjang oleh suplemen, vitamin yang mendukung daya tahan tubuh. Akan tetapi kesehatan jasmani tidak menyelesaikan permasalahan mengenai penyakit yang sesungguhnya. Karena pada dasarnya penyakit sesungguhnya bermuara pada pikiran yang tidak stabil. Pikiran yang tidak stabil akan membawa efek tidur tidak nyenyak, makan tidak berselera, emosi memuncak, ketegangan pada saraf, hingga dari itu mereka berpikiran dengan minum kopi secara terus menerus, merokok, meminum obat tidur, begadang, minum-minuman keras, narkoba, selingkuh, semuanya dianggap sebagai solusi dari masalah yang seseorang alami. Justru apa arti dari pola hidup sehat dengan berolahraga, tapi batin terus bergucang akibat masalah pikiran yang sakit.
            Kesehatan dalam perspektif Buddhisme adalah dimulai dari pikiran yang sehat pula. Menciptakan pola hidup sehat dengan hidup bermoral adalah poin yang penting dalam hidup ini. Caranya adalah bagaimana seseorang dapat selalu berpikir postif dalam hidupnya, menjalankan moralitas dengan baik, seperti mengembangkan pikiran, perbuatan, prilaku cinta kasih, kasih sayang. Menjadi seseorang yang dermawan, tidak mengambil barang atau apapun yang bukan haknya. Menjadi pasangan yang setia, tidak menghumbarkan nafsu birahinya kepada yang bukan pasangannya, selalu menjaga inderanya pada perhatian dan kesadaran, sehingga menjadi terkendali (saṁvara). Selain itu pikiran yang sehat juga berpengaruh pada kejujuran seseorang. Musuh, dan sahabat datang dari bagaimana seseorang dapat menjaga ucapannya. Dan yang terpenting adalah selalu mawas diri dengan menjaga keinginan yang tidak baik, seperti gemar mabuk. Orang yang mabuk akan sangat mempengaruhi kesadarannya. Kesadaran yang lemah dapat berbicara yang tidak baik, memperkosa, mencuri, hingga membunuh. Terkait hal itu, ternyata pikiran memiliki kekuatan yang luar biasa dalam menentukan kesehatan jasmani dan mental seseorang.
            Kesehatan juga dapat diciptakan melalui moralitas Buddhis yang keenam dengan tidak makan atau minum yang mengenyangkan setelah tengah hari. Hal itu juga menunjukkan bahwa pola hidup puasa dapat dilakukan oleh siapa saja, dan kapan saja. Minum yang diperbolehkan adalah kopi, teh, selain itu tidak boleh hingga keesokan paginya. Apa manfaat dari puasa ala Buddhis? tentu dengan seseorang tidak makan malam, ia telah berjuang untuk melatih dan mengatasi keserakahan dalam dirinya. Tidak makan malam adalah pola hidup sehat, karena pada dasarnya tidak ada pembakaran yang terjadi pada saat malam hari. Diumpakan seperti kendaraan yang telah diisi Bahan Bakar Minyak pada pagi hingga siang hari, sehingga dengan kondisi kendaraan di malam hari tidak digunakan, apakah perlu diisi lagi?
Keserakah, kebencian, dan ketidaktahuan, ke dalam diri seseorang akan membuat ia menjadi tidak sehat secara jasmani maupun batinnya. Diumpakan manusia ini seperti pasien yang sedang sakit, sehingga membutuhkan dokter, obat, dan perawatan yang sesuai. Buddha menjelaskan dalam Aṅguttara Nikāya III:22 bahwa ada tiga jenis pasien di dunia ini, yaitu:
(1.) Seseorang, tidak peduli ia mendapatkan gizi, obat, perawatan yang sesuai atau tidak, ia tidak akan sembuh dari sakitnya. Sama halnya orang demikian tidak peduli mendapatkan kesempatan bertemu dengan Sang Tathagatha, mendengarkan Dhamma-Vinaya, dia tidak akan masuk ke jalan kepastian, dan tidak akan mencapai kesempurnaan dalam keadaan-keadaan yang baik.
(2.) Seseorang, tidak peduli ia mendapatkan gizi, obat, perawatan yang sesuai atau tidak, ia akan sembuh dari sakitnya. Sama halnya orang demikian tidak peduli mendapatkan kesempatan bertemu dengan Sang Tathagatha, mendengarkan Dhamma-Vinaya, dia akan masuk ke jalan kepastian, dan akan mencapai kesempurnaan dalam keadaan-keadaan yang baik.
 (3.) Seseorang, sembuh apabila ia hanya jika mendapatkan gizi, obat, perawatan yang cocok. Apabila tidak, ia tidak akan sembuh.
Dari ketiga jenis pasien itu telah tampak jelas, bahwa seseorang memiliki tiga ciri kehidupan, ada yang tidak tertarik sama sekali, atau bahkan setelah belajar suatu keyakinan tidak ada kemajuan, bahkan celakanya! setelah belajar ajaran yang ia yakini, menjadi salah tafsir dengan berpandangan menganggap nyawa orang lain itu murah. Maka orang semacam ini sampai kapanpun, dimanapun tidak akan menemukan jalan kebaikan dalam hidupnya, ibarat ia menggali lubang kubur bagi dirinya sendiri dimana ia dilahirkan, ia mati oleh ketidaktahuan, kebodohannya sendiri. Adapula yang memiliki keyakinan yang baik, taat dan ia sangat bijaksana dalam memahami keyakinannya, sangat toleran pada keyakinan lainnya. Selain itu juga ada yang perlu dibimbing secara tepat dan benar, ia akan menemukan keyakinan yang terbaik. Tapi apabila tidak, ia akan selalu melakukan kejahatan.

            Kesehatan selain bermuara pada pikiran, juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sehingga diperlukan benteng dalam diri seseorang, benteng itu adalah pengetahuan Dhamma yang harus didapat sejak usia dini. Seseorang yang tidak mendapatkan pendidikan Dhamma sejak usia dini, maka kebanyakan dari mereka mudah diserang oleh perbuatan buruk. Akan tetapi apabila ia dapat membentengi diri, maka ia akan selalu waspada dan selalu gemar bebrbuat baik. Maka secara tidak langsung mentalitas akan terbentuk.  Buddha mejelaskan ada tiga jenis mentalitas manusia dala Aṅguttara Nikāya III:25, yaitu:
(1.) manusia dengan pikiran seperti luka yang menganga (mudah marah, tidak sabar, mudah tersinggung, tidak boleh dikritik),
(2.) manusia dengan pikiran seperti kilat (paham dengan cepat tentang penderitaan),
(3.) manusia dengan pikiran seperti berlian (hancurnya noda / kekotoran batin lewat pikiran berdiam tanpa noda, pembebasan oleh kebijaksanaan, telah merealisasi bagi dirinya lewat pengetahuan langsung. Sehingga apabila seseorang dapat memiliki pikiran seperti kilat dan berlian, ia akan hidup dalam kebahagiaan.
Kebahagiaan inipula telah Buddha jelaskan dalam Aṅguttara Nikāya III:50, bahwa apabila seseorang yang mampu melewati hari-harinya, pagi, siang, dan malam dengan pikiran, ucapan, prilakunya yang baik, maka ia akan bahagia pada pagi, siang, dan malam.
            Maka daripada itu pembaca sekalian sebagai kesimpulan kiat hidup sehat dengan pola hidup bermoral akan membuat hidup menjadi sehat, selalu puas dengan yang dapat, memiliki percaya diri dalam melakukan segala aktivitas, serta dari kebaikan yang dilakukan akan membawa seseorang mencapai sebuah penembusan pembebasan (Nibbāna). Kesehatan diluar diri belumlah cukup, sehingga bagaimana seseorang dapat membuat jasmani, dan batinnya sehat. Pikiran sehat secara otomatis jasmaninya juga akan sehat. Pengembangan batin melalui meditasi merupakan cara yang efektif untuk mengobati pikiran yang sakit, dan batin yang kering. Sehingga kebijaksanaan dapat tumbuh dan berkembang dalam pikan, ucapan, dan prilaku seseorang. Apabila semua telah dikondisikan untuk dipraktikkan, maka seseorang akan bahagia pada pagi, siang, dan malam.

Refrensi:
Bodhi, Nyanaponika. 2003. Petikan Aṅguttara Nikāya. Vihāra Bodhivaṁsa,
Klaten: Wisma Dhammaguṇa.
Matthews, Andrew. Tanpa tahun. Making Friends (Strategi Bergaul Agar
diterima Orang Lain). Terjemahan oleh Lucia R.M. Royanto.
1999. Jakarta: PT Grasindo.
Nyanaponika. 2013. Dahsayatnya Kekuatan Kewaspadaan. Klaten: Wisma
Sambodhi.

Vijāno. 2013. Dhammapada. Tanpa kota: Bahussuta Society.

Harapan Baru di Tahun Baru Imlek


恭喜发财 / Gōngxǐ fācái)

Matapitu-upaṭṭhanaṁ, Puttadarassasaṅgaho
Anakula ca kammanta, Etammaṅgalamuttamaṁ

Membantu ayah dan ibu, menunjang anak dan istri, dan
bekerja dengan sungguh-sungguh, itulah berkah utama
                                                                             (Mahamaṅgala Sutta- Suttanipata)


Makna Tahun Baru Imlek

Tahun Baru Imlek merupakan awal tahun musim semi setelah melewati musim dingin yang panjang. Pada saat itu para petani merayakan sebagai rasa syukur menyambut pergantian musim. Tahun Baru Imlek merupakan suatu momen yang penting, semua keluarga berkumpul, makan bersama,  bercerita pengalaman selama satu tahun, saling bertekad penuh harapan, saling memaafkan, serta berdoa kepada leluhur. Di samping itu mereka juga saling berbagi kepada yang lebih muda, dan sebaliknya. Hal tersebut yang dikenal isitilah “Ang Pau” (kertas merah) di dalamnya berisikan uang. Hal ini sebagai konsep berdana atau berbagi rezeki antara yang tua kepada yang muda, yang berkeluarga kepada orangtua. Hal ini juga adalah praktik dari balas jasa.

Apakah Imlek adalah hari raya Agama Buddha?
Mereka yang berpegang teguh pada tradisi mengatakan dengan polos serta berlandaskan ketidaktahuan menjawab “Ya, termasuk hari raya dalam agama Buddha”. Padahal tidak, seperti yang dijelaskan, Tahun Baru Imlek merupakan tahun baru bagi orang-orang Tionghoa. Terkait hal ini, tentu Imlek memiliki hubungan yang erat dengan ajaran Buddha. Hal yang
diajarkan dalam Tradisi Imlek juga terkandung dalam Dhamma. Apakah yang tersirat dalam Tradisi Imlek? Tentu dalam perayaan Imlek semua orang berkumpul untuk menjalin hubungan kekeluargaan, persahabatan menjadi lebih erat.

Kaitannya Imlek dengan ajaran Buddha
Jelas telah dipaparkan bahwa ada hubungan yang sama dalam ajaran Buddha terkait dengan perayaan Imlek. Perayaan Imlek mencakup dua hal yang terkandung sesuai ajaran Buddha, yakni konsep bhakti sesuai isi Sigalaka Sutta- Digha Nikaya dan konsep dana sesuai Sutta-sutta Pali lainnya.

A.  Hubungan Imlek dengan konsep bhakti sesuai isi Sigalaka Sutta-Digha Nikaya
Imlek merupakan pergantian musim dingin ke musim semi di daratan Tiongkok. Hal serupa perayaan Imlek juga dilaksanakan di seluruh dunia. Berkumpulnya keluarga merupakan hal yang berkesan, terlebih mereka yang tinggal jauh untuk kembali ke rumah berkumpul dalam suasana Tahun Baru Imlek. Kita melihat sebagai rasa bhakti anak pada saat Imlek adalah membasuh kedua kaki orangtuanya, bersujud seraya memohon maaf selama satu tahun mereka melakukan kesalahan, kedua orangtua pun memberikan nasehat pada anak, menantu, serta cucunya. Hal serupa juga terjadi dalam pasangan perumah tangga, yakni suami kepada istrinya, saling bertekad semoga hubungan rumah tangga bisa langgeng selamanya. Bagi mereka yang telah ditinggal orangtuanya rasa bhakti tetap terwujud melalui sembahyang di makam maupun di altar leluhur. Hal ini juga menunjukkan bhakti dan tanda jasa yang tidak dilupakan sebagai anak, menantu, serta cucu.

B.   Hubungan Imlek dengan konsep Dana dalam berbagai Sutta Pali
Rasa bhakti juga tidak sekedar ditunjukkan melalui perhatian, kasih sayang, melainkan menyokong mereka yang telah tua juga praktik berdana. Anak yang telah sukses, bahkan memiliki harta yang lebih, dengan melupakan orangtuanya atau menelantarkannya, maka mereka disebut manusia sampah (Vasala Sutta- Suttanipata). Tradisi Imlek juga tidak terlepas dari Budaya memberi Ang Pau. Hal ini memang terlihat belajar untuk memberi. Sesungguhnya harta bukanlah segalanya yang mampu memberikan kebahagiaan bagi hidup kita. Terkait dengan bhakti pada orangtua dijelaskan dalam Aṅguttara Nikaya II, 2 yaitu tidak dapat kita membalas jasa orangtua sekalipun memberikan harta hingga tujuh keturunan, melainkan mengenalkan Dhamma yang pada awalnya kikir setelah mengenal Dhamma menjadi dermawan, merupakan salah satu praktik membalas jasa.

Kebiasaan buruk yang selalu dilakukan pada saat Perayaan Imlek
Buddha telah menjelaskan dalam Vyagapaja Sutta- Aṅguttara Nikaya bahwa ada empat sumber kekayaan, setelah memperoleh harta dengan benar, selayaknya juga menjaganya, dan memiliki sahabat baik, serta mampu seimbang dalam penggunaan harta. Selain itu harta akan terbuang apabila melakukan empat hal, yaitu: bermabukan, berjudi, tergila dengan lawan jenis, dan memiliki sahabat tidak baik. Kerap kita temui di keluarga, tetangga rumah, warga setempat, teman kita, bahkan kita pada saat perayaan Imlek dengan mendapatkan Ang Pau, justru digunakan untuk menghibur diri dengan berjudi, bermabukan, bahkan melakukan pelanggaran sila ketiga dalam kelima latihan sila. Hal ini seharusnya tidak terjadi setelah seseorang telah memiliki keyakinan terhadap Dhamma.
Pada saat di Tahun Baru Imlek adalah suatu pengharapan baru, yaitu pemahaman, pikiran, sifat yang baru. Tahun Baru bukan sekedar ajang merayakan tanpa adanya introspeksi diri selama satu tahun. Banyak hal yang dapat dilakukan di Tahun Baru sebagai wujud revolusi mental setelah kita mengenal Dhamma. Revolusi mental tentu perlu ditingkatkan guna memperoleh kebahagiaan dari praktik dana, merawat dan melaksanakan sila, serta mengembangkan meditasi, juga berlaku hidup bijaksana. Kebahagiaan akan dapat diperoleh dari tiga pintu indria, yakni pikiran, ucapan, dan prilaku benar.

Selamat Tahun Baru Imlek!
Gong Xi Fat Choi, Xin Nian Khuai Lok!

Sumber:

-        Tim Giri Maṅgala Publication 2009. Kotbah-kotbah Panjang Sang Buddha Digha Nikaya. Tanpa kota: Dhammacitta Press.
-       Bodhi, Nyanaponika. 2003. Petikan Aṅguttara Nikaya. Vihara Bodhivaṁsa Klaten: Wisma Dhammagua.
-         Saddatissa. 1999. Sutta Nipata. Klaten: Vihara Bodhivaṁsa.
-          Vijano. 2013. Dhammapada. Tanpa kota: Bahussuta Society.
-          Wikipedia : Imlekolehech-wan – 21 Jan 2009

MANUSIA SAMPAH



Pandangan Umum

Manusia sampah adalah manusia yang perilakunya jauh dari moralitas. Istilah lain adalah orang yang merosot moralnya. Mereka lebih cenderung selalu melakukan tindakan kejahatan kepada orang lain. Adapula kelompok dengan memiliki paham untuk menghancurkan orang lain demi mencapai tujuan yang diharapkan. Namun, kita hanya akan membahas secara global sifat buruk yang dimiliki manusia.  Terkait dengan isi Dhammapada Kodha Vagga: 231, tidak sedikit orang apabila marah kekuatan fisik akan menjadi kekuatan untuk me-luapkan emosinya. Hal itupun mem-buat orang lain menjadi takut, tidak nyaman bersahabat dengannya.
Pandangan keliru itulah yang sangat berbahaya apabila tidak diakhiri. Buddha menjelaskan dalam Aṅguttara Nikaya I: 17; “Bagi seseorang yang berpandangan salah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Ketiga hal itu pula akan dilakukan dengan pandangan, kehendak, hasrat, harapan, serta bentukan. Semua yang muncul 
adalah hal yang tidak dikehendaki dan membawa pada kerugian dan penderitaan, karena pandangan buruk tersebut.

Pandangan Buddhis tentang Manusia

A.      Empat kondisi yang sulit diperoleh guna mencapai Dhamma
Guru Agung pernah meng-ajarkan Dhamma, bahwa kehidupan manusia yang telah diperoleh saat ini adalah yang terbaik dan termulia. Sebab em-pat hal yang teramat jarang telah tercapai sekaligus. Buddha pernah menjelaskan hal ini dalam kitab komentar Dhammapada 182. Buddha menjelaskan tentang empat hal tersebut kepada Erakapatta sang Raja Naga, bahwa mereka yang terlahir menjadi seekor hewan tidak dapat mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Empat kondisi itu adalah:
1.   Sangat sulit untuk menjadi manusia;
2.   Sangat sulit untuk bertahan hidup;
3.   Sangat sulit untuk mendengarkan Dhamma mulia untuk merealisasi Nibbana;
4.   Sangat sulit berada dalam Buddha Sasana.

B.       Tipe Manusia Menurut Dhamma
Manusia berasal dari kata Mano yang memiliki pengertian pikiran, kesadaran atau dalam hal ini adalah batin dan Ussa memiliki pengertian yang telah maju atau berkembang dan maju. Manusia dalam pandangan agama Buddha dapat dibedakan menjadi empat tipe:
1.   Manusia binatang
Ciri khasnya manusia ini adalah dipenuhi dengan kebodohan batin (moha), tidak dapat membedakan mana yang baik dan buruk, pantas, tidak pantas. Tidak berbakti pada orangtua, keras hati, sombong, hanya menuruti hawa nafsu keinginan.
2.   Manusia setan
Ciri khasnya manusia ini adalah selalu diliputi oleh keserakahan (lobha), kikir, 
tidak pernah puas, hanya me-mikirkan keuntungan diri sendiri, tidak mengenal kebaikan, senang memuaskan nafsu inderanya saja.
3.   Manusia seutuhnya
Ciri khasnya orang ini adalah senang membantu orang lain yang menderita. tidak kikir, memiliki hiri dan ottapa, hidup yang berpedoman kepada Dhamma.
4.   Manusi Dewa
Manusia ini selalu suka membantu orang lain yang menderita, memiliki pe-ngendalian diri (sīla), metta, karuna, mudita, upekkha, pañña yang sangat kuat.


C.      Manusia Sampah
Buddha menjelaskan tentang manusia sampah dalam Vasala-Sutta; Sutta Nipata, yaitu kepada Brahmana Aggika-Braradvaja salah satunya adalah:
(1.)  “Siapapun yang marah, niat buruk, berpikiran jahat, dan iri hati, pandangan salah, tipu muslihat, dialah disebut sampah.” 
(2.)  “Siapapun yang merusak atau agresif (suka menyerang) di kota dan di desa dikenal sebagai perusak atau penjahat yang kejam, dialah disebut sampah.”
(3.)  Siapapun yang tidak me-nyokong ayah atau ibunya, yang sudah tua dan lemah, padahal dia hidup dalam keadaan berkecukupan, dialah disebut sampah.”

Buddha menjelaskan dalam Dhamma bahwa seseorang yang ingin hidup bahagia, selayaknya menjaga jasmani, ucapan, dan pikirannya sepanjang siang dan malam, maka kebahagiaan akan selalu menyertai mereka yang melakukannya.

Referensi:
o       Saddatissa, H. 1999. Sutta Nipata. Vihara Bodhivasa. Klaten
o Kundalabhivamsa, Ashin. 2007. Kehidupan Mulia ini (This Noble Life).      Vihara Padumuttara. Tangerang.
o       Widya, Surya. 2001. Dhammapada. Yayasan Abdi Dhamma Indonesia. Jakarta

MEMBANGUN BUDAYA SANTUN DALAM AGAMA BUDDHA


Sukarāni asādhūni                 attano ahitāni ca
yaṁ ve hitañca sādhuñca      taṁ ve paramadukkaraṁ

Sungguh mudah untuk melakukan hal-hal yang buruk dan tidak bermanfaat,
tetapi sungguh sulit untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat.

(Dhammpada; Atta-Vagga; 163)




Secara umum banyak orang telah melupakan nilai-nilai keluhuran yang telah diajarkan dalam ilmu prilaku yang dikenal dengan sebutan “Agama”. Nilai keluhuran tertuang dalam norma budaya dengan istilah budaya santun. Budaya santun merupakan ajaran yang telah diwariskan dari para pendahulu, yaitu leluhur. Budaya santun secara Buddhis juga telah diajarkan oleh Buddha dalam Dhamma yang dikenal adalah etika atau moralitas. Dalam kamus besar bahasa Indonesia arti dari santun adalah (1) halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan; (2) penuh rasa belas kasihan; suka menolong.
            Terkait dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa santun merupakan suatu ilmu yang mengajarkan seseorang untuk menjadi lebih halus dan lemah lembut. Pernyataan ini telah Buddha jelaskan dalam bait Maṅgala Sutta yaitu “terlatih baik dalam tata susila”. Manusia pada umumnya wajar melakukan tindakan kesalahan, akan tetapi menjadi tidak wajar apabila selalu melakukan keburukan tanpa adanya tindakan untuk menyadari perbuatan buruknya.
            Perbuatan buruk merupakan kebiasaan (budaya) yang sering dilakukan oleh setiap orang, akan tetapi setiap orang menggemari perbuatan buruk yang tidak bermanfaat. Perbuatan buruk yang tidak membawa manfaat dapat dilakukan dari tiga pintu indria, yaitu pikiran, ucapan, dan prilaku badan jasmani. Budaya santun akan terbentuk apabila seseorang dapat menjalankan isi dari Maṅgala Sutta yang berbunyi sebagai berikut:

Bahūsaccañca sippañca        Vinayo ca susikkhito
Subhāsitā ca yā vācā              Etammaṅgalamuttaman’ti.

(Berpengetahuan luas, berketerampilan,                  terlatih baik dalam tata susila,
dan bertutur kata dengan baik,                                 itulah berkah utama).


A. Santun berpikir

Keburukan yang dilakukan dari pikiran sering terjadi dengan berpikir buruk terhadap orang lain, berpikir keliru, memiliki pandangan salah. Hal-hal tersebut sudah menjadi budaya yang tidak baik dalam diri seseorang yang seharusnya mampu berpikir jernih. Santun dalam berpikir akan terbentuk apabila seseorang memiliki pengetahuan dalam berpikir yang ditembus dalam pengembangan meditasi, yaitu mengetahui dengan jelas pikiran baik dan buruk yang sedang muncul. Secara bijaksana seseorang memotong pikiran buruknya dengan kesadaran, perhatian dan kewaspadaan. Selanjutnya adalah memiliki keterampilan dalam berpikir, yaitu mampu terampil dalam menata pikiran, disamping seseorang terampil dalam segi kerajinan tangan. Keterampilan yang sesuai Dhamma merupakan bagian dari seni yang juga dipuji oleh sang Buddha. Orang yang tidak terampil dalam menata pikiran, maka ia akan dengan serampangan berpikir hal-hal yang buruk dan tidak bermanfaat dengan mudah. Justru sebaliknya, sungguh sulit seseorang menata pikirannya kearah yang baik, karena seseorang tidak terampil dalam segi menata pikirannya. (contoh kasus: selalu curiga, tidak percaya, berprasangka buruk).
      Terkait mengenai pikiran. Tertuang dalam Dhammapada Yamaka-vagga; 1, bahwa pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu. Pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara dan berprilaku dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya. Sebaliknya dalam Dhammapada yang sama, syair ke 2 dijelaskan, apabila sebaliknya seseorang memiliki pikiran, ucapan, dan prilaku yang murni, maka perbuatan baiknya akan mengikuti seperti bayang-bayang yang tidak pernah meninggalkan bendanya. Pikiran yang tidak tertata dengan pola yang baik, maka banyak permasalahan baru akan muncul. Pikiran yang buruk dalam segi kehidupan masyarakat dapat dijumpai, seperti seseorang memiliki rasa tidak suka dengan orang yang dianggap musuhnya. Sehingga pada saat di vihara mereka tidak bertegur sapa, bertengkar hingga berkelahi. Mereka melupakan bahwa kita adalah saudara dalam Dhamma.
Banyak kasus-kasus yang dapat kita temui dalam keseharian terkait pikiran buruk. Rasa keakuan dalam benak seseorang juga akan muncul pada saat orang tersebut memiliki kedudukan di suatu vihara tertentu. Sehingga dengan niat buruk orang tersebut merendahkan orang lain, dengan melihat latar belakang orang lain, kedudukan, dan pendapatan. Hal ini sangat ironis bagi umat Buddha yang belajar Dhamma tidak menjadi orang yang rendah hati, melainkan menjadi tinggi hati.

     B. Santun berucap

Ucapan yang tidak baik terkadang seseorang melakukannya dengan sengaja. Hal ini merupakan tindakan dari keburukan yang sering dilakukan. Terkadang orang mengucapkan istilah salam “Namo Buddhaya”, akan tetapi kelanjutan dari rentetan pembicaraannya berisikan ucapan yang buruk dan tidak bermanfaat. Umat Buddha yang terkadang sering ke vihara justru menjadi pelaku dalam ucapan yang tidak baik, seperti memarahi orang dengan kata-kata kasar, bergosip, menfitnah. Hal-hal ini adalah tidak sesuai dengan isi Maṅgala Sutta yaitu “bertutur kata dengan baik. Santun dalam berucap adalah seseorang dengan pengetahuannya dapat mengendalikan ucapannya untuk tidak melontarkan kata-kata yang buruk dan tidak bermanfaat. Sehingga perasaan orang lain terluka karenanya.
Selain itu mereka yang terampil juga dapat memilah ucapan-ucapan yang buruk dan baik, bermanfaat dan tidak bermanfaat. Buddha mengajarkan kepada umatnya bahwa hanya ada dua hal yang sewajarnya dilakukan yaitu “apabila seseorang berbicara, berbicaralah Dhamma, apabila tidak ada yang dibicarakan, maka selayaknya diam dan membina batin (Meditasi)”. Hal ini juga telah dijelaskan dalam sῑla keempat dalam lima aturan moralitas dalam agama Buddha untuk berlatih diri dengan tidak mengucapkan kata-kata yang tidak bermanfaat atau berbohong. Kata-kata yang tidak bermanfaat disini memiliki cakupan yang luas, seperti berbicara kasar, bergosip, menfitnah.

        C. Santun berprilaku

Prilaku yang dilakukan oleh badan jasmani yang dituntut untuk diwaspadai. Banyak orang yang melupakan budaya santun dalam berprilaku. Berprilaku dapat dikategorikan dalam beberapa bagian, yaitu berprilaku dalam tindakan, dan berprilaku dalam berbusana. Realita yang dapat dilihat apabila melakukan perbandingan umat Buddha di daerah, desa, pedalaman jauh lebih santun dalam berprilaku dalam tindakan, seperti contoh mereka ke vihara selalu memberi salam anjali pada sahabat-sahabatnya, memberikan perhatian dikala sakit, membantu pada saat ada kegiatan, tahu malu pada saat di vihara dengan mendengarkan ceramah Dhamma secara serius, tidak berbicara sendiri, tidak bermain handphone, tahu batas ukuran makan, sebagai intinya rasa toleransi masih terpelihara dengan baik.
Selain itu berbudaya santun dalam berpakaian, menggunakan busana (pakaian) secara santun, semua serba tertutup dalam berpakaian, punya rasa enggan ke vihara dengan busana yang serba kekurangan. Kalau dibandingkan dengan umat Buddha di kota, meskipun tidak semuanya. Akan tetapi ada diantara mereka ke vihara tidak beretika dalam berbusana, berbusana tidak lengkap (pakaian yang belum siap jadi sudah dipakai), hal ini juga kurang terampil dalam memilih pakaian. Pakaian yang seharusnya dipakai dipantai, disawah, dipakai ke vihara.  Selain itu juga perasaan malu dalam menyapa orang yang ditemui dengan bersikap anjali. Budaya anjali seolah-olah bukan tradisi buddhis, sehingga malu untuk melakukannya Kasus lainnya adalah pada saat ada kegiatan mereka enggan membantu, akan tetapi ingin selalu tampil di depan agar dikenal. Ada juga ke vihara hanya sembahyang lalu pulang tanpa pengetahuan yang didapat. Selanjutnya ada yang kelihatannya santun, tetapi pada saat mendengarkan ceramah orang tersebut berbicara sendiri dan main hand phone. Perkara makan juga menjadi masalah dalam tujuan orang ke vihara. Sehingga sangat jelas bahwa kita yang masih serba kekurangan selayaknya selalu membimbing diri secara benar setiap saat.
Buddha juga menjelaskan dalam Maṅgala Sutta, yaitu Attasammāpaṇidhi, Etammaṅgalamuttamaṁ (membimbing diri dengan benar, merupakan bagian dari berkah utama. Apabila seseorang semasa hidupnya tidak membimbing diri dengan benar, justru menjerumuskan diri ke dalam liang derita, maka dalam waktu yang panjang pula penderitaan yang dirasakan pada dirinya. Berbuat buruk dan hal yang tidak bermanfaat adalah suatu hal yang mudah, dan sulit bagi mereka yang mau berbuat baik dan hal yang bermanfaat.
            Hidup seseorang akan bermanfaat, bahagia, tentram, damai, apabila mampu menerapkan budaya santun dalam berpikir, berucap, dan berprilaku. Hal ini telah dijelaskan oleh sang Buddha dalam Aṅguttara Nikāya III; 50, yaitu: “Makhluk apapun yang berprilaku benar lewat tubuh, ucapan, dan pikiran. Sepanjang pagi, siang, dan malam, maka sepanjang itupula mereka akan bahagia dan kebahagiaan itu akan menjadi milik mereka”.


Refrensi:

Bodhi, Nyanaponika. 2003. Petikan Aṅguttara Nikāya. Vihāra Bodhivaṁsa,
Klaten: Wisma Dhammaguṇa.
Bodhi, Nyanaponika. 2003. Majjhima Nikāya. Vihāra Bodhivaṁsa,
Klaten: Wisma Dhammaguṇa.
Vijāno. 2013. Dhammapada. Tanpa kota: Bahussuta Society.

PERCIKAN API KEHIDUPAN MEMBAKAR JIWA YANG SUKSES

Susukaṁ vata jῑvāma Verinesu averino Verinesu manussesu Viharāma averino sungguh bahagia kita hidup terbebas dari keserakahan, di...